Kamis, 26 Maret 2009

The Year of Living Dangerously: Menengok Masa-masa Terkelam dalam Sejarah Indonesia


"Love Caught in the Fire of Revolution"

The Year of Living Dangerously. Mungkin kata-kata ini tidak akrab di telinga masyarakat Indonesia pada umumnya. Tetapi masyarakat internasional mengenal Indonesia salah satunya adalah lewat kata-kata ini.

Apa sih itu?

The Year of Living Dangerously adalah sebuah film Australia yang mengambil setting di Jakarta pada tahun 1966, saat lengsernya Soekarno dan lahirnya Orde Baru Soeharto. Film produksi tahun 1982 ini dibintangi oleh beberapa aktor/ aktris terkenal, diantaranya Mel Gibson dan Sigourney Weaver dan disutradarai Peter Weir. Uniknya, sampai saat ini baru inilah film berbahasa Inggris yang mengulas tentang peristiwa revolusi ’66. Temanya adalah thriller dan drama yang dibumbui romansa. Film ini didasarkan oleh novel karangan CJ Koch berjudul sama.

Ceritanya sendiri adalah tentang seorang jurnalis ambisius, Guy Hamilton (Mel Gibson) yang dikirim oleh ABS (Australian Broadcasting Service) sebagai koresponden asing. ia sampai di Indonesia dibantu oleh Kumar (Bembol Roco) dari kantor perwakilan Indonesia. Meskipun baru kali pertama menginjakkan kaki di Indonesia, Guy begitu keras berusaha mencari berita-berita bermutu tinggi padahal perlu diketahui bahwa pada saat itu bangsa Barat masih dipandang sebagai simbol imperialisme sehingga tiap orang Barat dianggap musuh.

Namun perkenalannya dengan Billy Kwan (Linda Hunt), seorang kamerawan profesional yang cebol namun punya banyak koneksi ke pejabat memberinya banyak berita menarik tentang realita kehidupan Jakarta saat itu juga kesempatan untuk mewawancarai pemimpin PKI, Aidit. Lewat Billy pula ia berkenalan dengan Jill Bryant (Sigourney Weaver), asisten atase Kedubes Inggris. Ia juga berteman dengan beberapa wartawan di sana, diantaranya adalah Pete Curtis (Michael Murphy). Ketika Guy dan Jill saling mencintai, Jill membocorkan informasi rahasia kepada Guy tentang pengiriman senjata dari Shanghai untuk PKI demi keselamatan jiwa mereka. Guy pun berada dalam dilema: apakah dia akan mengorbankan cinta mereka dengan menyiarkan berita menggemparkan yang bisa saja membahayakan nyawa mereka, atau memilih untuk meninggalkan Indonesia dan semua karir yang menjanjikan, atau hanya menunggu PKI membantai seluruh kaum Eropa di Jakarta kapan saja selagi ia berpikir?

Film ini mampu menggambarkan situasi sosial politik dan budaya Indonesia tahun ’66 secara detail, mulai dari kehidupan para ekspatriat yang mewah sampai kehidupan rakyat miskin di pemukiman kumuh pinggir sungai. Sementara orang Barat (digambarkan oleh wartawan teman-teman Guy) hanya minum-minum, pesta dansa, dan melacur, rakyat pribumi berebut beras bahkan rela mengemis demi sesuap nasi. Situasi mencekam yang dialami kaum Barat pun sangat terasa di sini. Orang-orang Barat dicibir oleh penduduk setempat ‘hei kapitalis, ngapain di sini???’ Budaya khas Indonesia juga ditampilkan di sini, seperti alunan gamelan yang menyelingi beberapa adegan film. Film ini sekilas dapat dikatakan akurat, meski pada kenyataannya tak ada satu scene pun diambil di Indonesia dan hampir tidak ada pemain Indonesia di sini. Sudut pandang film ini sebagian besar adalah dari sisi orang-orang Barat, meski sudut pandang Kumar sebagai pribumi (bukannya lebih mirip nama orang India?) terhadap peristiwa kudeta juga mesti jadi poin.






Anda tentu kenal Mel Gibson. Setidak-tidaknya mungkin pernah menonton filmnya. Banyak film yang dibintanginya sering diputar di TV, sebut saja The Patriot dan Braveheart yang sering diputar di Trans7. Atau film Lethal Weapon yang kemarin diputar di TransTV. Lethal Weapon bahkan sudah dibuat sampai 4 seri. Sedangkan Sigourney Weaver terkenal lewat film Alien (beberapa hari lalu tayang di RCTI kalo gak salah). Guy sendiri digambarkan sebagai sosok yang alim. Ia lebih memilih hidup profesional, tidak seperti teman-temannya yang suka pesta. Tetapi di balik itu ia juga orang yang ambisius. Sementara Jill memiliki pribadi yang tegar dan mempesona dari segi penampilan dan sikap. Ada pula karakter Pete Curtis sebagai kebalikan dari karakter Guy. Tetapi yang paling unik adalah karakter Billy Kwan. Billy adalah seorang kamerawan cebol yang entah bagaimana dipercaya oleh siapapun sehingga punya koneksi bagus. Ia sangat paham dengan filsafat wayang. Ia juga adalah salah satu penggemar berat Soekarno, yang membuatnya suka memakai kostum ala Soekarno: peci, kacamata hitam, dan tongkat kecil. Selain itu, ia adalah pemerhati sosial juga. Secara rutin ia mengunjungi seseorang yang dipanggilnya Ibu yang tinggal di pemukiman kumuh bersama anaknya yang sakit-sakitan, lalu memberinya bantuan berupa beras dan terkadang mainan anak. Yang lebih unik lagi adalah karakter Billy Kwan diperankan oleh aktris Linda Hunt. Mungkin Anda tidak kenal Linda Hunt karena ia lebih sering menjadi pengisi suara kartun, diantaranya Pocahontas dan game God of War. Perannya sebagai lelaki di film ini membawanya meraih Piala Oscar untuk kategori best actress in supporting role tahun 1984. Jujur gw setuju banget soalnya sampai gw ngebaca cast n crew nya gw gak tahu bahwa Billy diperankan oleh perempuan.

Dan poin penting yang mau gw kasihtahu di sini adalah bahwa setelah penggambaran detail tentang Indonesia khususnya Jakarta, yang membuat gw suka film ini adalah chemistry antara tokoh-tokoh sentral film ini. Hubungan cinta antara Guy dan Jill mungkin menarik (mereka berdua hot banget) namun ketika Anda menonton hingga habis, Anda akan tahu bahwa hubungan mereka dengan Billy lebih menarik. Guy dan Billy bersahabat sebagai partner kerja namun belakangan akan terlihat bahwa Billy akan semakin misterius dan dia berusaha mengontrol Guy dan Jill layaknya seorang dalang (ia bercerita tentang Arjuna, Srikandi, dan Semar dan ia mengatakan bahwa ‘Soekarno adalah dalang yang hebat’ maka kemungkinan ia begitu mengidolakan Soekarno sehingga ia berusaha menirunya dengan ‘mendalangi’ Guy dan Jill, mungkin dia anggap sebagai Arjuna dan Srikandi dimana dia adalah si cebol Semar). Tetapi ketika ambisi Guy mengalahkan segala-galanya, Billy benar-benar kecewa. Selain itu yang unik juga adalah hubungan Guy dengan Curtis. Mereka memiliki karakter yang bertolak belakang, yang mana hal ini sering menjadi pemicu pertengkaran antara mereka berdua. Namun ada pula saat-saat dimana mereka makan bersama, bercanda, dan berjalan-jalan bersama.

Tapi kalau film ini kualitasnya bagus kok saya tidak pernah tahu ada film seperti ini?

Pada saat film ini dibuat dan dirilis Indonesia masih berada di bawah rezim pemerintahan Soeharto. Karena film ini mengandung adegan yang memperlihatkan pembantaian antek-antek PKI oleh Pemerintah maka film ini mungkin dianggap menyindir Orde Baru. Oleh karena itu, film ini baru dirilis di televisi Indonesia 6 November 2000, dua tahun setelah Soeharto lengser (IMDb.com). Sementara versi VCDnya dirilis 16 Juli 2001 oleh Vision Home Entertainment. Itupun VCD ini langka sekali, jarang ditemukan di toko-toko VCD manapun. Beruntung sekali setelah pencarian panjang (halah) akhirnya gw nemuin nih VCD di salah satu rental film di Padang. Biar gak nyari-nyari lagi, langsung aja gw copy filmnya ke komputer. Terus gw tonton deh filmnya bersama bokap gw.

Sebelumnya gw sempat terkejut karena penggambaran kemiskinan dan kekumuhan di Jakarta mendominasi film ini. Ya, memang banyak kritikus yang mengatakan bahwa film ini terlalu menghina Indonesia. Tetapi bokap gw bilang 'waktu dulu memang beginilah keadaan Indonesia'. Ya terang aja gw lebih percaya sama bokap gw, kan dia hidup di jaman itu juga, tentu lebih tahu keadaan sebenarnya daripada gw dan kritikus-kritikus sok tahu lainnya.

Meski penggambaran ketakutannya sangat mencekam, sayang sekali film ini kurang menonjolkan sisi historisnya seperti latar belakang pemberontakan dan sebagainya. Jadi bagi orang bukan Indonesia yang tidak terlalu mengerti sejarah indonesia juga akan tidak begitu mengerti emosi yang dirasakan tokoh-tokoh utama. Tetapi tetap bagus kok.

Yah intinya gw rekomendasiin deh ni film untuk referensi. jadi, selamat menonton!!!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar